text ku

YA ALLAH...YA ALLAH...YA ALLAH

Selasa, 14 Desember 2010

A T U B E L A H ( Cerita Rakyat Gayo - Aceh )


     Dahulu kala di desa Penurun, tanah Gayo, hiduplah suatu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan dua orang anaknya. Usia anak yang tertua kira-kira 7 tahun, sedang adiknya masih menyusui.
     Kehidupan keluarga itu sangat miskin. Sang ayah mata pencariannya adalah petani. Pada waktu senggang, setelah mengerjakan sawahnya dia selalu berburu kehutan. Disamping itu dia banyak menagngkap belalang di sawah untuk di jadikan makanan. Di saat berburu dia tidak berhasil memperoleh hasil buruannya. Ditangkapnya belalang-belalang  sedikit demi sedikit yang kemudian di massukkan kedalam lumbung padi yang kebetulan kosong karena musim paceklik.
     Suatu hari sang ayah pergi berburu ke hutan, saat itu memang sedang  musim paceklik. Sementara di rumah tinggallah istri dan ke dua anaknya.
     Ketika saat makan tiba, anaknya yang besar merajuk karena tidak ada ikan sebagai lauk nasinya, juga tidak tersedia lauk-pauk lainnya di rumah itu.  Anak itu terus merengek-rengek membuat sang ibu menjadi sedih hatinya. Akhirnya ia memerintahkan agar anaknya mengambil sendiri belalang yang ada di dalam lumbung.
     Kemudian pergilah si anak ke lumbung dengan hati gembira untuk mengambil beberapa ekor belalang. Saat ia membuka pintu lumbung kurang hati-hati, membiarkan pintu lumbung tetap terbuka. Hal itu menyebabkan semua belalang yang ada di dalam lumbung terbang ke luar.
     Si ibu menjadi terkejut dan sedih melihat kejadian itu. Ia tak dapat membayangkan betapa akan marah besar suaminya nanti, karena kita tahu belang-belang itu dia kumpulkan dengan susah payah.
     Ketika sang ayah pulang dari berburu, dia kelihatan amat kesal dan lelah karena seharian berburu tak mendapatkan seekorpun dari buruannya. Kekesalan dan kekecewaannya itu berubah menjadi kemarahan ketika istrinya mengatakan bahwa semua belalang yang ada di lumbung lepas terbang.
     Kemarahan sang ayah memuncak manakala diingatnya betapa lama dia mengumpulkan belalang-belalang itu. Kini semuanya lenyap karena keteledoran istri dan anaknya. Dalam keadaan lupa diri sang ayah memukuli istrinya sampai babak belur dan menyeretnya ke luar rumah.
     Dalam keputusasaannya dan menyesali perbuatan suaminya yang begitu ringan tangan, si ibu meninggalkan rumah sambil merintih kesakitan. Tujuannya ia ingin ke “ATU BELAH”, yang selalu menelan siapa saja yang ingin ditelannya. Keinginan untuk ditelan  Atu Belah itu dapat terkabul jika seseorang itu menjangin, yaitu mengucapkan kata-kata sambil bernyanyi dalam bahasa Gayo.
     Sementara si ibu yang hendak menuju Atu Belah, kedua anaknya terus mengikuti dari kejauhan sambil menangis. Sang kakak menggendong adiknya yang masih kecil.
     Sesampai di depan Atu Belah, si ibu yang malang itu menyanyikan kata-kata bahasa gayo itu berkali-kali dengan lembut. “ atu Belah, atu bertangkup nge sawah pejaying te masa dahulu.” Artinya : Batu belah, batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa lalu.
    Perlahan-lahan batu di depan perempuaan itu terbuka. Tanpa ragu-ragu lagi ibu yang putus asa itu masuk ke dalam mulut batu yang menganga lebar. Sedikit demi sedikit tubh perempuaan itu ditelan Atu Belah.
    Pada saat kedua kakak beradik itu tiba didepan Atu Belah, suasana alam di sekitar tempat itu menjadi berubah. Hujan  tiba- tiba turun dengan lebatnya yang disertai dengan angin ribut. Bumi terasa bergetar, seakan menyaksikan Atu Belah menelan manusia.
     Beberapa saat kemudian semuanya reda. Dengan hati hancur ke dua kakak beradik itu hanya dapat melihat rambut ibunya yang tak tertelan Atu Belah. Kemudian anak yang tua mencaput tujuh helai rambut ibunya untuk dijadikan jimat pelindung mereka berdua.
     Cerita rakyat ini dianggap oleh masyarakat Gayo benar-benar pernah terjadi didaerah mereka. Peninggalan yang ber kaitan dengan cerita ini adalah sebuah batu besar yang terletak kira-kira 35 km dari kota Takengon di Gayo.
     Cerita rakyat ini menarik, bukan karena dianggap benar-benar pernah terjadi, tetapi karena pesan-pesan yang terkandung dalam inti cerita tersebut, yaitu kita harus dapat menahan diri dan waspada. Sebab, perbuatan yang teledor akan dapat mencelakakan orang lain dan kita sendiri.
Read More...